Wali secara bahasa berakar pada bahasa Arab Waliyun yang berarti orang saleh yang ketaatannya terus-menerus kepada Allah, tanpa diselang-selingi oleh perbuatan maksiat, lalu menurut Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Jaami’u Karaamatil Aulia, menjelaskan bahwa secara bahasa Wali artinya dekat. Dalam Al Qur’an Surat Yunus ayat 62-63 juga disampaikan, “Ingatlah, sesungguhnya Wali-wali Allah itu tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa”, tafsir dari ayat tersebut turut memperjelas bahwa, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih ) Allah, tidak ada ketakutan pada mereka di akhirat dari siksaan Allah dan mereka pun tidak bersedih atas kesenangan-kesenangan dunia yang terluput mereka dapatkan (ayat 62), Dan sifat-sifat wali-wali (kekasih-kekasih) Allah itu bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti Rasul Nya, dan risalah yang dibawanya dari sisi Allah, dan mereka selalu bertakwa kepada Allah dengan mengamalkan perintah-perintah Nya dan menjahui larangan-larangan Nya(ayat 63)”.
Dalam
Kitab Bughyatul Adzkiya ‘fi Bahtsi ‘An
Karomatil Auliya karya Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi disebutkan
tentang Syekh Abu Sa’id Ahmad bin Isa Al-Kharraz Al-Baghdadi yang berpendapat
bahwa jika Allah Ta’ala menghendaki pengangkatan seorang hamba menjadi wali
maka Dia akan membukakan pintu “ad-dzikr”
untuknya. Jika zikir itu dirasakan lezat maka dibukakan lagi untuknya pintu al-qarb (kedekatan), kemudian
diangkatlah ia ke pertemuan al-uns
(kemesraan), dan didudukkan di atas kursi tauhid. Selanjutnya, dibukalah hijab
untuknya dan ia dinaikkan lagi menuju negeri fardaniyah (kesendirian) dan disingkapkanlah untuknya keagungan dan
kebesaran Allah. Lalu, jika mata hatinya tertuju kepada keagungan dan kebesaran,
ia menetap bersama Nya. Sampai di sini, hamba merasakan dirinya fana belaka, sehingga ia berada dalam
perlindungan Allah Swt. Tegasnya, cita-citanya hanyalah Allah Swt, sementara ia
terbebas dari ajakan hawa nafsunya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
online, wali diantara definisinya yaitu sahabat Allah, orang yang suci dan
keramat. Disini bisa dipahami berdasarkan pada semua penjelasan yang ada dari
paragraf pertama dan kedua, bahwa status
wali identik dengan pribadi yang menjalani proses ekologi spiritual dengan penuh
asketisme, dan itu terkontruksi dalam
dimensi ruhaniah, jasmaniah,serta intelektual.
Wali dalam Emanasi
Spiritual
Wali yang identitasnya dianggap sebagai manusia yang punya kesakralan dengan dilengkapi berbagai tindakan asketisnya, bisa kita pandang sebagai kepribadian sang wali untuk menghayati dan mencapai ruang-ruang spiritualnya yang terdalam. Wali dalam banyak aspek juga mampu untuk membangun labirin-labirin spiritualnya sendiri, sehingga dari pembentukan labirin-labirin tersebut, turut membingkai perspektif berfikir sang wali tentang dunia yang rohani dan jasmani. Berkaitan dengan hal ini bisa kita lihat bagaimana para wali-wali sebagai hasil dari perjalanan spiritualnya dan olah pikirnya akhirnya menyusun labirin-labirin,rapalan-rapalan, serta pondasi-pondasi spiritual untuk bisa dilalui demi bertatap “muka” dengan Nya. Dan semua proses ini bisa disebut sebagai emanasi spiritual.
Emanasi
spiritual sebagai pancaran-pancaran keilahian yang berintikan energi-energi
rohani dalam wujudnya akhirnya menjadi jalan-jalan
penghambaan yang sering disebut thoriqat. Emanasi spiritual berpendar dari diri
sang wali yang pusat energinya berada dalam keagungan Allah Swt, dan pada tahap
tersebut wali yang normatifnya adalah manusia jasmani, berubah
individualitasnya menjadi manusia rohani. Dan beberapa thoriqat yang mahsyur
serta banyak dianut oleh masyarakat kita diantaranya :
1.Thoriqat
Qodiriyah : pembawa ajarannya yaitu Syekh Abdul Qodir Al
Jaelani
2.Thoriqat
Syadzaliyah :
pembawa ajarannya yaitu Syekh Abu Hasan As-Syadzili
3.Thoriqat Naqsyabandiyah : pembawa
ajarannya yaitu Syekh Baha’uddin An-Naqsyabandi
4.Thoriqat Rifa’iyah :
pembawa ajarannya yaitu Syekh Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa’i
Thoriqat pada proses selanjutnya menjadi wasilah bagi banyak manusia untuk memasuki wilayah yang transenden serta kontemplatif. Thoriqat yang kedaulatannya ada pada diri sang wali, pada masa-masa selanjutnya thoriqat menjadi bersifat adaptif sehingga turut menyebar luaskan emanasi spirtitual sang wali dalam ranah teologi maupun ilustrasi-ilustrasi yang berkaitan dengan penjelajahan spiritual. Wali dalam arti khusus punya kewenangan spiritual untuk memilih yang terkasih dalam pandangan Nya.
Wildan Taufiqur Rahman / Pengamat Sejarah
Alumni Ilmu Sejarah Unair / Mahasiswa S2 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Sby
Komentar
Posting Komentar