Belung
adalah kawasan bersejarah, hal itu tepat untuk dikatakan karena dusun ini
mempunyai banyak peninggalan arkeologi yang bisa dipelajari. Belung juga
menjadi saksi tentang dinamika sosial-politik dari zaman ke zaman, mulai dari
zaman Kesultanan Mataram Islam, Proyek Industri Pemerintah Belanda, Kemerdekaan
Indonesia, Agresi Belanda di Tanah Jawa, hingga Peristiwa PKI. Belung akan
menghantarkan kita pada sebuah arus sejarah yang besar, yang patut dipelajari
sebagai sebuah pengetahuan dan kebijaksanaan bagi generasi millenial.
Belung
seperti pada tulisan sebelumnya, telah kita ketahui bersama bahwa di wilayah
Belung Wetan (Timur) yang tepatnya berada di daerah Tiru Kidul terdapat makam
tokoh besar yang dikenal dengan sebutan Mbah Ageng, dan menurut riwayat dari
Mbah Katinem (Juru Kunci Makam Eyang Sri Aji Joyoboyo), tokoh yang dimakamkan tersebut
adalah Eyang Mangir atau bisa kita sebut sebagai Ki Ageng Mangir. Maka berangkat
dari pengetahuan lokal tersebut kita bisa melakukan penelusuran yang lebih luas
terkait sosok dari Ki Ageng Mangir yang berada di Belung Wetan (Tiru Kidul) dan keterkaitannya dengan Ki Ageng Mangir yang
berada di Desa Mangir. Dan sumber sejarah yang bisa kita gunakan untuk menggali
lebih dalam tentang Ki Ageng Mangir diantaranya adalah Babad Bedhahing Mangir .
Ki Ageng Mangir di Belung Wetan
Berdasarkan pada riwayat yang sampai pada penulis, ada yang menjelaskan
bahwa Eyang Mangir atau Ki Ageng Mangir yang makamnya berada di Belung Wetan
(lebih tepatnya Tiru Kidul) mempunyai
hubungan dengan Eyang Sri Aji Joyoboyo, ada juga yang menyampaikan bahwa Ki
Ageng Mangir sebenarnya seorang prabu yang bergelar Alam Suryo Diningrat.
Melalui dua riwayat tersebut secara kebudayaan, kita bisa pahami bersama bahwa
masyarakat menganggap dan meyakini secara turun-temurun bahwa sosok yang dimakamkan ditempat tersebut
merupakan seorang penguasa sekaligus pemimpin yang berpengaruh di masanya.
(Cungkup Makam Ki Ageng Mangir, Belung Wetan)
Ki
Ageng Mangir di Mangir
Dalam Babad Bedhahing Mangir
dijelaskan bahwa di zaman Mataram Islam terdapat seorang ksatria yang bernama
Ki Ageng Wanabaya yang tinggal Desa Mangir (Bantul, Yogyakarta). Ki Ageng
Wanabaya dikenal sebagai ksatria yang sakti dan mempunyai pusaka andalan yang
berupa tombak bernama Kyai Barukuping.
Ki Ageng Wanabaya juga dikenal sebagai penguasa daerah Mangir sehingga mahsyur
disebut dengan nama Ki Ageng Mangir. Selama masa kepemimpinan Ki Ageng
Wanabaya, wilayah Mangir merasakan kesejahteraan,kemakmuran dan kemandirian
walaupun pada masa itu penguasa Mataram sedang giat-giatnya memperluas daerah
kekuasaan politiknya. Bahkan pengaruh kekuasaan Ki Ageng Wanabaya atau Ki Ageng
Mangir mampu menjangkau daerah-daerah yang luas, seperti wilayah Kedu, Pati,
Jepara, Madiun, Kediri, Pajang, dan Semarang. Ki Ageng Mangir juga termasuk
murid dari Sunan Kalijaga.
Dalam proses
kepemimpinan selanjutnya, Ki Ageng Wanabaya digantikan oleh putranya yang juga
bernama Ki Ageng Wanabaya, dan dikenal sebagai Ki Ageng Mangir II. Pada masa Ki
Ageng Mangir II perselisihan dengan penguasa Mataram mulai menajam, hal ini
membuat penguasa Mataram yaitu Panembahan Senopati berfikir keras terkait strategi
yang tepat untuk menaklukkan Ki Ageng Mangir II.
(Lokasi Makam Ki Ageng Mangir di Kotagede)
Ki Ageng Mangir dari Belung hingga Mangir
Berdasarkan penjelasan di paragraf sebelumnya, kita bisa pahami bersama
tentang sosok Ki Ageng Mangir yang berada di daerah Belung Wetan dan Ki Ageng
Mangir yang berada di Desa Mangir. Lantas
sekarang coba kita analisis bersama terkait tokoh yang dikenal dengan nama Mbah Ageng ,
Eyang Mangir, atau Ki Ageng Mangir dan makamnya berada di daerah Belung Wetan,
dengan Ki Ageng Mangir yang berasal dari Desa Mangir dan makamnya berada di
Kotagede,Yogyakarta.
Beberapa analisis sejarah
yang bisa disampaikan yaitu:
Pertama, wilayah kekuasaan politik dari Ki Ageng Mangir I pernah
mencapai daerah Jawa Timur, diantaranya Madiun dan Kediri. Sehingga bisa kita
yakini bahwa Kediri pernah menjadi bagian dari pemerintahan otonomi Ki Ageng
Mangir I dan bisa jadi pengaruhnya tetap dipertahankan oleh masyarakat atau
pemimpin di masa itu khususnya di daerah Kediri (Belung Wetan-Tiru Kidul) dengan
cara menggunakan gelar beliau yaitu Ki
Ageng Mangir.
Kedua, dalam tradisi penamaan seseorang biasanya
menggunakan gelar yang itu telah digunakan secara turun-temurun mengikuti garis
keluarga, dan sosok Ki Ageng Mangir yang makamnya di daerah Belung Wetan, kemungkinan
masih mempunyai ikatan keluarga dengan Ki Ageng Mangir I yang berada di Desa
Mangir,Bantul, Yogyakarta. Dan nama gelar yang dipakai secara turun temurun, bertujuan sebagai penanda dari sebuah garis
keturunan serta dinasti penguasa, seperti Ki Ageng Mangir I – Ki Ageng Mangir
II- Ki Ageng Mangir III, Sunan Pandanaran I – Sunan Pandanaran II – Sunan Pandanaran
III , Kyai Nengah-Kyai Lod- Kyai Nyoman ( Gelar kyai digunakan keturunan Arya
Damar (Penguasa Palembang) .
Ketiga, Ki Ageng Mangir yang makamnya
berada di Belung Wetan kemungkinan besar merupakan penguasa yang hidup di zaman
Kesultanan Demak atau Mataram Islam bukan dari zaman Kerajaan Kediri, hal ini
bisa ketahui dari penggunaan gelar Ki Ageng yang merupakan ciri khas dari gelar
para penguasa daerah di masa Demak dan Mataram Islam.
Dari semua
penjelasan diatas, semoga kita sekarang bisa lebih jelas dan terang terkait
dengan keberadaan makam Mbah Ageng, Eyang Mangir, atau Ki Ageng Mangir yang
berada di daerah Belung Wetan atau lebih tepatnya di Tiru Kidul. Dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan
mendapat pengetahuan penting terkait sejarah para leluhur kita.
WIldan
Taufiqur Rahman
(Pengamat Sejarah)
Sumber Pustaka :
Djoko Dwiyanto, Bugiswanto, H.Pardiyono, 2013, Kajian Naskah Babad Bedhahing Mangir,
Yogyakarta: Museum Negeri Sonobudoyo, Dinas Kebudayaan, Daerah Istimewa
Yogyakarta
Eri Sasongko Endratmo, 2014, Jurnal Riset Daerah Vol. XIII,
No.2 Agustus, “Napak Tilas Perjuangan Ki
Ageng Mangir I”, Yogyakarta: Sejarah dan Kebudayaan Islam, UIN Sunan
Kalijaga
Blog : Pustaka Agung Sunan Tembayat , Penjelasan tiga gelar dan hakekat Sunan Pandanaran yang sering
dipertanyakan masyarakat umum. 20 Mei 2018.
Moedjanto, G, 1987, Konsep
Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, Kanisius
https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/53-makam-kotagede(Diakses:24Juni2020)
Komentar
Posting Komentar