Langsung ke konten utama

Belung : Di antara Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Jayasanaka





           Belung secara wilayah berada di Desa Kawedusan, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Belung termasuk dusun yang fokus masyarakatnya pada bidang pertanian, hal ini bisa kita lihat dari aktivitas rutin masyarakatnya yang mayoritas selalu pergi ke sawah di tiap pagi dan kembali ke rumah pada siang hari, dan terkadang pada sorenya masih harus ke sawah untuk mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan pertanian. Selain itu dalam sudut pandang sosiologi pedesaan, Belung tergolong daerah yang sangat menjaga ikatan kekeluargaan (familisme). Hal ini bisa kita temukan saat momen Hari Raya Idul Fitri maupun acara besar kekeluargaan, dan salah satu acara besar tersebut adalah Haul Mbah Kyai Hasan Murowi. Tentang Mbah Kyai Hasan Murowi menurut riwayat yang disampaikan oleh tokoh-tokoh masyarakat, beliau adalah seorang pimpinan dari prajurit Pangeran Diponegoro yang menyelamatkan diri dari serbuan pasukan Belanda hingga akhirnya sampai di Belung.  Saat di Belung, beliau mempunyai keturunan sebanyak 10 anak dan berawal dari keturunan yang ada maka turut membentuk komunitas besar di masyarakat Belung sampai hari ini.

            Belung dalam dimensi sejarah juga sangat menarik untuk dipelajari. Selain ada Mbah Kyai Hasan Murowi yang menurut riwayat merupakan pimpinan dari prajurit Pangeran Diponegoro, juga ada tokoh lain yang keberadaannya telah menjadi bagian dari narasi sejarah masyarakat Belung. Tokoh tersebut yaitu Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Jayasanaka, terkait dengan Ki Ageng Mangir, beliau dikenal oleh masyarakat dengan nama Mbah Ageng dan makamnya berada di Belung timur, lebih tepatnya berada di daerah Tiru Kidul. Makam Ki Ageng Mangir  termasuk situs kuno yang penting serta berharga, dan masyarakat harus ikut merawatnya agar tetap utuh dan tak rusak oleh tangan-tangan jahat. Dan terkait Ki Ageng Jayasanaka, masyarakat Belung belum banyak yang tahu tentang nama beliau, termasuk riwayat hidup beliau. Makamnya berada di Belung barat dan dikenal dengan daerah complang. Makam Ki Ageng Jayasanaka  sebagai situs kuno juga harus dirawat karena bagian dari aset sejarah maupun kebudayaan masyarakat Belung.


Sejarah Ki Ageng Mangir

Menurut riwayat arkeologi yang pernah penulis dapat. Dulu sebenarnya nisan dari Ki Ageng Mangir terlihat lebih utuh dan jelas, tidak seperti sekarang dan tinggi nisannya sekitar 1 meter serta bertuliskan aksara Jawa, dan sangat disayangkan juga bahwa kondisi nisan ada yang patah. Lalu untuk bangunan cungkup sendiri dulunya adalah kayu jati yang dihias dengan sangat indah, berbeda dengan bangunan cungkup saat ini. Nama Ki Ageng Mangir  sendiri penulis ketahui dari juru kunci makam Eyang Sri Aji Joyoboyo (Bulurejo,Plosoklaten) yaitu Mbah Katinem. Beliau menyampaikan bahwa yang dimakamkan di Tiru Kidul adalah Eyang Mangir dan termasuk saudara dari Eyang Sri Aji Joyoboyo.

Berdasarkan pada riwayat dari Mbah Katinem maka bisa kita pahami bersama bahwa ada keterikatan keluarga dan keterikatan sejarah antara Eyang Mangir atau Ki Ageng Mangir dengan Eyang Sri Aji Joyoboyo. Dan yang harus kita tahu pula bahwa Eyang Sri Aji Joyoboyo menurut sumber sejarah yang ada merupakan raja yang berkuasa di masa Kerajaan Kediri. Eyang Sri Aji Joyoboyo atau Prabu Joyoboyo adalah raja yang dikenal waskito dan bijaksana. Beliau memimpin Kerajaan Kediri sekitar tahun 1130 – 1157 M.

                                                                      (Makam Ki Ageng Mangir)
                                                       

Sejarah Ki Ageng Jayasanaka

Menurut riwayat arkeologi yang penulis pernah gali dari beberapa warga. Daerah Complang merupakan kompleks makam kuno yang sejak dulu sudah ada, bahkan sebelum kedatangan Mbah Kyai Hasan Murowi di Belung. Riwayat yang lain juga menyampaikan bahwa Mbah Mudin Ahmad Murtam sendiri tidak tahu itu makam siapa, sehingga masyarakat menganggapnya sebagai makam-makam kuno yang misterius. Dan menurut riwayat yang ada, dulunya ada banyak nisan-nisan kuno, lalu oleh masyarakat banyak disingkirkan entah kemana. Dan hari ini hanya ada 2 makam yang sengaja dirawat dan menurut kabar juru kuncinya berasal dari daerah Sadon.

Nama Ki Ageng Jayasanaka bisa kita ketahui dari aksara Jawa yang terukir di tembok makam, aksara Jawa yang digunakan tergolong aksara Jawa baru yang mulai muncul di Abad ke-16. Menurut analisis sejarah diperkirakan juga bahwa Ki Ageng Jayasanaka termasuk keluarga atau kerabat dekat dari Eyang Sri Aji Joyoboyo.


                                                                           (Makam Ki Ageng Jayasanaka)

Gelar Ki Ageng

            Berdasarkan pada sumber sejarah, gelar Ki Ageng merupakan tanda penghormatan bagi para pemuka dan pemimpin suatu daerah atau desa, sehingga bisa disebut sebagai golongan elit.  Gus Ziyyulhaq yang mengampu pengajian Waskito Jawi, beliau turut menyampaikan bahwa gelar Ki Ageng merupakan gelar yang digunakan saat seorang pejabat atau penguasa daerah turun dari tahtanya. Dan saat pejabat atau penguasa daerah itu masih berkuasa dalam struktur pemerintahan maka gelar yang disandangkan adalah Ki Gede.  Maka berangkat dari sumber sejarah dan argumen intelektual Gus Ziyyulhaq, kita bisa makin mengerti bahwa ada tokoh-tokoh penting di Belung, dan ada jaringan politik yang telah lama terbentuk khususnya didaerah Belung, dan lebih luasnya didaerah Plosoklaten, Kediri.

Jaringan politik tersebut diwakili dengan keberadaan Ki Ageng Mangir di Belung Kidul (timur) dan Ki Ageng Jayasanaka di Belung Kulon (barat). Dan kita bisa yakini bersama bahwa Belung termasuk dusun yang tua sekali, dan dulu telah ada pemukiman kuno zaman kerajaan yang terbentuk didaerah Belung, dengan berbagai bentuk rumahnya, tradisinya, adat-istiadatnya, perdagangannya, agamanya, beserta birokrasi pemerintahan yang mengayomi masyarakatnya. Belung adalah kawasan bersejarah. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kronologi sejarah yang panjang ini.




Wildan Taufiqur Rahman
(Pengamat Sejarah)


            Sumber Pustaka :
            Susilawati, Nora, 2012, Sosiologi Pedesaan, Universitas Negeri Padang
            Ayatrohaedi, A.S Wibowo, dkk, 1981, Kamus Istilah Arkeologi I, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
            Purwadi, 2007, Silsilah Raja-Raja Jawa, Yogyakarta: Media Abadi 
            Moedjanto, G, 1987, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, Kanisius
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Ombo Ingin Masuk Surga

                         Sore-sore Ombo berniat untuk bertemu dengan Gus Abrit di   masjid, kebetulan juga Ombo sudah menyiapkan kata-kata yang ingin disampaikannya pada Gus Abrit, yang kata-kata ini sebenarnya sudah lama ingin disampaikannya namun ia malu.             Masjid sore itu memang cukup ramai dengan anak-anak kecil yang   mengaji, dan Gus Abrit biasanya duduk-duduk di sekitaran situ, sambil membawa tasbih dan terkadang berpindah ke lapangan masjid untuk berbagi butir-butir gula dengan semut-semut yang ada.             “Guss….”             “ Woh iyooo ….,   ada perlu apa booo sore-sore ?             “saya mau bicara Gus ..”, sambil sikap malu-malu             Gus Abrit meminta Ombo untuk duduk di sebelahnya, lalu meminta Ombo untuk mengambilkan bantal kayu yang biasanya dipakai tidur.                     “ Monggo , mau bicara apa kamu ?,   Gus Abrit sambil rebahan dan menyandarkan kepalanya ke bantal kayu lalu terpejam.             “Guss… doakan saya agar bisa m

Ketika Para Nabi, Menyendiri

                 Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin giat untuk melakukan ikhtila’ (menyendiri) di Gua Hira, saat usianya semakin mendekati empat puluh tahun. Allah ’Azza wa Jalla sengaja menumbuhkan pada diri Nabi rasa bahagia dalam menjalani aktivitas menyendiri yang sering kali dijalankan   hingga beberapa malam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dalam dimensi ikhtila’ nya berusaha untuk menajamkan alam spiritual dan intelektual demi memahami tentang realitas sosial dan kebudayaan yang berkembang di masyarakatnya, serta menapaki hakikat terdalam dari lintasan-lintasan rohani yang semakin memuncak dalam batinnya.             Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam akhirnya mencapai puncak spiritualitas saat suatu hari Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu dan berkata, “Bacalah..”, Nabi menjawab, “ Aku tidak dapat membaca..”, Malaikat Jibril terus mengulang kata yang sama sambil beberapa kali memeluk Nabi hingga membuat Nabi menjadi

Proses Hadirnya Islam dalam Masyarakat Nusantara (02)

Ikatan Ekonomi, Masyarakat, dan Keluarga                   Faktor lain yang menjadi sebab   Islam mampu berkembang sejak abad ke -7 yaitu   adanya   jalur perdagangan   laut yang saling terhubung antara timur dan barat asia. , terutama pasca kemunculan dan perkembangan tiga dinasti kuat, yaitu Kekhalifahan Umayyah (660-749 M) di Asia Barat, Dinasti Tang (618-907 M) di Asia Timur dan Kerajaan Sriwijaya (7-14 M) di Asia Tenggara. Kekhalifahan Umayyah saat itu dikenal agresif karena wilayah penaklukannya yang begitu besar. Mulai dari wilayah Eropa, Afrika hingga Asia. Keadaan tersebut membuat jangkauan perdagangan dan dakwah Islam menjadi lebih luas, termasuk meliputi kawasan Nusantara.            Pedagang muslim yang datang ke pusat perdagangan di wilayah-wilayah Melayu   kemungkinan besar juga tak bisa langsung kembali. Mereka menunggu barangnya sampai habis terjual dan menanti musim agar bisa berlayar kembali. Karena itu akhirnya mereka menetap dalam   waktu ber