Langsung ke konten utama

Anthropologi Kewalian (1)

 


           Wali secara bahasa berakar pada bahasa Arab Waliyun yang berarti orang saleh yang ketaatannya terus-menerus kepada Allah, tanpa diselang-selingi oleh perbuatan maksiat, lalu menurut Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Jaami’u Karaamatil Aulia, menjelaskan bahwa secara bahasa Wali artinya dekat. Dalam Al Qur’an Surat Yunus ayat 62-63 juga disampaikan, “Ingatlah, sesungguhnya Wali-wali Allah itu tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa”, tafsir dari ayat tersebut turut memperjelas bahwa, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih ) Allah, tidak ada ketakutan pada mereka di akhirat dari siksaan Allah dan mereka pun tidak bersedih atas kesenangan-kesenangan dunia yang terluput mereka dapatkan (ayat 62), Dan sifat-sifat wali-wali (kekasih-kekasih) Allah itu bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti Rasul Nya, dan risalah yang dibawanya dari sisi Allah, dan mereka selalu bertakwa kepada Allah dengan mengamalkan perintah-perintah Nya dan menjahui larangan-larangan Nya(ayat 63)”.


Dalam Kitab Bughyatul Adzkiya ‘fi Bahtsi ‘An Karomatil Auliya karya Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi disebutkan tentang Syekh Abu Sa’id Ahmad bin Isa Al-Kharraz Al-Baghdadi yang berpendapat bahwa jika Allah Ta’ala menghendaki pengangkatan seorang hamba menjadi wali maka Dia akan membukakan pintu “ad-dzikr” untuknya. Jika zikir itu dirasakan lezat maka dibukakan lagi untuknya pintu al-qarb (kedekatan), kemudian diangkatlah ia ke pertemuan al-uns (kemesraan), dan didudukkan di atas kursi tauhid. Selanjutnya, dibukalah hijab untuknya dan ia dinaikkan lagi menuju negeri fardaniyah (kesendirian) dan disingkapkanlah untuknya keagungan dan kebesaran Allah. Lalu, jika mata hatinya tertuju kepada keagungan dan kebesaran, ia menetap bersama Nya. Sampai di sini, hamba merasakan dirinya fana belaka, sehingga ia berada dalam perlindungan Allah Swt. Tegasnya, cita-citanya hanyalah Allah Swt, sementara ia terbebas dari ajakan hawa nafsunya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, wali diantara definisinya yaitu sahabat Allah, orang yang suci dan keramat. Disini bisa dipahami berdasarkan pada semua penjelasan yang ada dari paragraf pertama dan kedua,  bahwa status wali identik dengan pribadi yang menjalani proses ekologi spiritual dengan penuh asketisme, dan itu  terkontruksi dalam dimensi ruhaniah, jasmaniah,serta intelektual.


Wali dalam Emanasi Spiritual

Wali yang identitasnya dianggap sebagai manusia yang punya kesakralan dengan dilengkapi berbagai tindakan asketisnya, bisa kita pandang sebagai kepribadian sang wali untuk menghayati dan mencapai ruang-ruang spiritualnya yang terdalam. Wali dalam banyak aspek juga mampu untuk membangun labirin-labirin spiritualnya sendiri, sehingga dari pembentukan labirin-labirin tersebut, turut membingkai perspektif berfikir sang wali tentang dunia yang rohani dan jasmani. Berkaitan dengan hal ini bisa kita lihat bagaimana para wali-wali sebagai hasil dari perjalanan spiritualnya dan olah pikirnya akhirnya menyusun labirin-labirin,rapalan-rapalan, serta pondasi-pondasi spiritual untuk bisa dilalui demi bertatap “muka” dengan Nya. Dan semua proses ini bisa disebut sebagai emanasi spiritual.


Emanasi spiritual sebagai pancaran-pancaran keilahian yang berintikan energi-energi rohani  dalam wujudnya akhirnya menjadi jalan-jalan penghambaan yang sering disebut thoriqat. Emanasi spiritual berpendar dari diri sang wali yang pusat energinya berada dalam keagungan Allah Swt, dan pada tahap tersebut wali yang normatifnya adalah manusia jasmani, berubah individualitasnya menjadi manusia rohani. Dan beberapa thoriqat yang mahsyur serta banyak dianut oleh masyarakat kita diantaranya :


1.Thoriqat Qodiriyah              : pembawa ajarannya yaitu Syekh Abdul Qodir Al Jaelani

2.Thoriqat Syadzaliyah             : pembawa ajarannya yaitu Syekh Abu Hasan As-Syadzili

3.Thoriqat Naqsyabandiyah : pembawa ajarannya yaitu Syekh Baha’uddin An-Naqsyabandi

4.Thoriqat Rifa’iyah               : pembawa ajarannya yaitu Syekh Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa’i   


Thoriqat pada proses selanjutnya menjadi wasilah bagi banyak manusia untuk memasuki wilayah yang transenden serta kontemplatif. Thoriqat yang kedaulatannya ada pada diri sang wali, pada masa-masa selanjutnya thoriqat menjadi  bersifat adaptif sehingga turut menyebar luaskan emanasi spirtitual sang wali dalam ranah teologi maupun ilustrasi-ilustrasi yang berkaitan dengan penjelajahan spiritual. Wali dalam arti khusus punya kewenangan spiritual untuk memilih yang terkasih dalam pandangan Nya.




Wildan Taufiqur Rahman / Pengamat Sejarah

Alumni Ilmu Sejarah Unair / Mahasiswa S2 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Sby 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kandangan : Nama dan Asal-Usulnya

              Kandangan merupakan sebuah kelurahan atau desa yang berada di Kecamatan Benowo, Surabaya. Kandangan   secara   wilayah   berbatasan dengan Klakahrejo (barat), Banjarsugihan (timur),   Tambak Langon (utara),   Bringin (selatan). Kandangan secara administrasi daerah mempunyai 7 Ketua RW, 41 Ketua RT, lalu lahan yang ada di Kandangan selain digunakan untuk kawasan pemukiman warga juga dipakai untuk sekolahan, pasar, perkantoran, dan sebagiannya lagi berwujud tambak serta persawahan. Kandangan sebagai bagian dari wilayah Kota Surabaya mempunyai jejak-jejak sejarah yang patut untuk kita ketahui, dan   kita berharap masyarakat Kandangan tetap mampu menjaga identitasnya dengan terus merawat cerita-cerita leluhur yang disampaikan dari generasi ke generasi, serta melestarikan peninggalan-peninggalan arkeologi/ sejarah yang selama ini ada di tengah masyarakat. Nama Kandangan Berdasarkan riwayat sejarah yang di...

Proses Hadirnya Islam dalam Masyarakat Nusantara (05)

Interaksi Islam dengan Kerajaan Majapahit                        Kerajaan Majapahit yang beribukota di Trowulan telah mempunyai kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Jaratan, Canggu di wilayah pantai utara Jawa Timur. Gambaran dari kota-kota tersebut   dapat diamati dalam literatur-literatur berbahasa Jawa, seperti Nagarakertagama dan Pararaton. Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan maritim-agraris mengembangkan perdagangan internasionalnya dengan disokong oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo. Kedua sungai tersebut berfungsi sebagai jalur perairan utama untuk mengirim semua jenis komoditas dari daerah pedalaman ke kota-kota pelabuhan, diantara komoditas ekspor yaitu beras yang diekspor ke Maluku dan Tiongkok, Lada dari Pacitan juga dikirim ke Tiongkok., serta komoditas lainnya yang   dibawa melalui Tuban seperti garam,rempah-rempah,mutiara,kulit penyu,emas,per...

Proses Hadirnya Islam dalam Masyarakat Nusantara (04)

Perkembangan Islam dalam Geo-Ekonomi dan Geo-Politik   Nusantara                    Ekspedisi perdagangan menjadi komponen penting dalam proses perkembangan Islam di Nusantara. Kehadiran Islam di beberapa pantai yang ada di daerah geografis melayu adalah hasil dari berjalannya   rute pelayaran dan ekspedisi perdagangan dari Arab-Persia-India-dunia Melayu-Tiongkok. Catatan Tionghoa dan Arab sekitar abad ke-7 dan 8 M ikut memberi bukti bahwa adanya pelayaran serta jaringan perdagangan di mana para pedagang Arab dan Persia turut berperan aktif dalam   perdagangan internasional melalui Selat Malaka terus ke Tionghoa. Dampak yang sangat terasa dari berlangsungnya jaringan perdagangan tersebut adalah   tumbuhnya kota-kota   muslim di nusantara.               Tome Pires juga menyampaikan keberadaan para pedagang ...